Senin, 02 November 2009

Membangun Kemampuan Publik Speaking

Berbicara adalah salah satu bentuk komunikasi yang biasa digunakan manusia dalam berinteraksi sehari-hari. Sebagai upaya penyampaian pesan dari pengirim pesan ke penerima pesan, media yang paling mudah dilakukan adalah melalui komunikasi verbal, yaitu berbicara. Kemampuan berkomunikasi melalui verbal seringkali terbatas pada percakapan individu atau tingkat komunikasi dalam lingkup kecil. Rata-rata individu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi verbal dalam lingkup besar atau berbicara di depan umum, dimana terdapat banyak peserta yang menjadi pendengar atau penerima pesan.

Ketakutan berbicara di depan umum merupakan hal yang paling sering dialami oleh orang-orang, bahkan ketika harus berbicara dalam diskusi kecil pun seseorang yang pintar belum tentu mampu mengutarakan pandangannya karena ketakutan berbicara di depan umum. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat tehadap 10.000 manajer, 32 persen menyatakan, bahwa berbicara di depan umum adalah hal yang menakutkan. Ketakutan berbicara di depan umum bahkan dikatakan melebihi ketakutan menghadapi kesulitan keuangan, ketakutan kelebihan bobot badan, dan kematian (Walters, 1989;dalam Macnamara, 1996). Dengan kata lain sepertiga dari orang dalam studi tersebut “lebih baik mati daripada harus berpidato”.

Kemampuan berbicara di depan umum tidak hanya terletak pada penguasaan materi atau pesan yang ingin disampaikan, tetapi dalam membangun komunikasi publik yang efektif perlu latihan dan proses belajar. Kemampuan seseorang untuk berbicara di depan umum tidak diperoleh dari sejak lahir melainkan seseorang akan semakin terampil berbicara di hadapan publik melalui latihan dan pembelajaran (Maksum, 2005). Penguasaan materi dan subyek pengetahuan serta kemampuan berbicara dengan penuh wibawa juga memerlukan persiapan yang matang agar presentasi yang dilakukan mampu menyampaikan pesan yang dimaksud dan memberi pengaruh dan umpan balik dari pendengar.

Persiapan awal yang perlu dilakukan sebelum presentasi adalah menyiapkan ringkasan materi, meperhatikan penampilan, dan memastikan peralatan (audio visual) berfungsi dengan baik (Sudaryono,2008). Ringkasan materi ini diperlukan agar point-point penting yang ingin disampaikan tidak lupa. Kata-kata kunci disusun secara sistematis agar penyampaiannya juga berjalan sistematis. Misalnya dalam kegiatan pidato sambutan ketua panitia dalam sebuah institusi pendidikan. Point-pointnya adalah ucapan penghormatan kepada pimpinan, ucapan terimakasih kepada hadirin yang telah hadir, ucapan terimakasih kepada segenap panitia, baru masuk kepada inti kenapa acara dilakukan. Dalam komunikasi publik, penampilan adalah kesan pertama. Penampilan, walau bisa jadi sederhana, yang penting terlihat rapi, rambut tertata dengan baik, tidak banyak batuk-batuk, tenang, tidak celingukan sana-sini. Jika dalam sebuah acara besar yang dihadiri banyak peserta, tidak adanya peralatan yang mendukung, bisa jadi berakibat fatal. Tidak menutup kemungkinan, komunikasi publik akan berantakan karena otomatis peserta tidak tahu/dengar apa yang dibicarakan. Pembicara membuat topik pembicaraan sendiri dan tidak mendengarkan karena memang tidak ada yang bisa didengarkan.

Dalam penyajian presentasi atau pesan selama berbicara di hadapan publik ada beberapa hal yang juga perlu diperhatikan seperti buat catatan ringkas dari bagian-bagian yang akan disampaikan, jangan menulis sesuatu di luar penyajian, jangan menghafal kata demi kata, sampaikan informasi dalam bentuk ilustrasi atau contoh, kuasai pengetahuan secara luas, jangan cemas waktu penyajian, dan jangan meniru gaya orang lain, jadilah diri sendiri (Carnegie, 1985). Ketepatan waktu penyajian juga menjadi hal yang penting. Persiapan yang baik termasuk merancang waktu penyajian secara tepat. Ketepatan waktu tentu harus proporsional untuk pengantar, isi pembicaraan, kesimpulan, dan saran.

Selain hal-hal di atas, hal lain yang perlu diperhatikan oleh pembicara adalah performance yang mengandung unsur-unsur hukum komunikasi sepeti yang pertama,menghargai pendengar(respect) melalui apresiasi/ ucapan terima kasih ataupun menyampaikan kritik dengan sopan dan tidak frontal. Kedua, menempatkan diri pada posisi pendengar (empathy), yaitu memahami dengan benar latar belakang pendengar seperti umur, pendidikan, tingkat sosial, dan harapan-harapannya menghadiri acara tersebut, sehingga pembicara mampu menciptakan kedekatan dan sama rasa yang membantu pembicara dalam menyampaikan pesannya, bisa juga empathy ditunjukkan melalui keterbukaan dalam menerima kritikan dari pendengar. Ketiga, dapat didengarkan dengan baik (audible), yang berhubungan dengan ketersediaan alat bantu agar lebih mudah di dengar ataupun dalam visualisasi materi yang disajikan, atau bisa juga berupa kondisi yang kondusif sehingga perhatian pendengar jelas terhadap pembicara. Keempat adalah kejelasan pesan yang disampaikan (clarity), hal ini menyangkut kejelasan isi materi pesan yang ingi disampaikan agar tidak bias dan multi tafsir. Selain itu juga diperlukan penyampaian yang fokus dan tidak panjang dan melebar ke hal-hal yang melenceng dari topik awal, pentingnya intonasi yang tepat dan pemberian anekdot yang menyangkut topik pembicaraan juga menjadi hal penting yang dapat menghindarkan kebosanan. Terakhir, adalah sikap rendah hati (humble), yang berarti pembicara wajib untuk menghindari pembicaraan dan gaya berbicara yang berlebihan dan terkesan menggurui. Hal ini penting untuk diperhatikan agar tidak menimbulkan kesan yang buruk di hadapan pendengar, sehingga tidak mampu memberikan umpan balik atau respon yang sesuai serta tidak tercapainya tujuan penyampaian materi.

Respon dari pendengar merupakan indikator untuk mengukur keberhasilan penyampaian pesan dalam sebuah komunikasi. Hadirin hanya akan mendengarkan pembicara, apabila ada perhatian (attention) karena penampilan, sikap, dan perilaku pembicara yang menumbuhkan minat (interest) dan rangsangan (desire), sehingga hadirin berani mengambil keputusan (decision) untuk bertindak (action) dengan memperhatikan, mendengarkan, bertanya, memberikan tanggapan, dan lain-lain. Lebih jauh lagi, hadirin berusaha mengadopsi, mencoba, dan menerapkannya (Maksum,2005).

Dalam mengupayakan agar materi yang disampaikan mudah diingat dan mampu menciptakan respon yang diharapkan maka pembicara perlu mempersiapkan materi yang bisa diserap oleh otak kiri dan otak kanan. Perlu ada penyajian yang mengkombinasi antara penyajian yang lebih mudah diserap oleh otak kiri dengan penyajian yang lebih mudah diserap oleh otak kanan. Seringkali penyajian yang cenderung analisis dan penuh dengan pemaparan fakta-fakta akan membuat bosan pendengar yang lebih menggunakan otak kanannya, begitu pula sebaliknya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar penyajian lebih menarik dan mampu diingat oleh pendengar adalah mengadakan pendekatan gabungan, dimana jangan hanya menganggap pendengar sebagai radio yang disetel pada satu gelombang. Selain itu diperlukan jugapenyajian yang seimbang antara fakta dengan fantasi, seperti melalui contoh dan anekdot-anekdot yang mempermudah penyampaian materi. Penyajian juga dapat diberikan melalui meberikan metafora (gambaran secara verbal) dan gambar-gambar melalui slide. Terakhir, pembicara dapat memberikan pemaparan tidak hanya berupa pemikiran yang tersusun rapi tapi juga sedikit pemikiran yang tidak masuk akal, seperti membuat sajak-sajak untuk membungkus hal-hal yang rumit.


Tips melakukan public speaking :

1. Berjalan tegap ke podium acara sambil senyum kepada audience. Kalau ada orang

2. penting dalam forum, menundukkan kepala untuk memberikan penghormatan diperlukan.

3. Mulailah dengan salam pembuka dan ucapan terimaksih kepada panitia atau hadirin yang telah berkenan membantu dan hadir dalam acara yang diadakan.

4. Bicaralah beberapa point saja karena peserta tidak akan mampu mengingat banyak point dalam satu waktu acara.

5. Tidak harus memfokuskan pada seluruh hadirin, fokuskan kepada mereka yang dirasa tertarik saja.

6. Perkaya topik pembicaraan dengan berita-berita terkini.

7. Selingi pembicaraan dengan anekdot (cerita lucu) agar tidak membosankan hadirin. Isinya, tentu disesuaikan dengan tema acara yang sedang dilangsungkan. Karena kalau tidak, kegagalan dalam melucu bisa menjadi bumerang tersendiri bagi pembicara bahkan bisa membuat malu pembicara yang akhirnya tidak lagi punya kepercayaan diri seperti yang telah dibangun sejak awal acara.

8. Usahakan ada interaksi yang baik antara pembicara dengan audience, misalnya dengan melontarkan pertanyaan yang berhubungan dengan topik yang sedang dibahas.

9. Mengingat waktu yang diberikan. Usahakan materi yang disampaikan tidak melebihi waktu yang disediakan, walaupun merasa masih cukup banyak materi yang ingin disampaikan.

10. Memberikan kesimpulan singkat materi yang diberikan agar bisa diingat kembali oleh hadirin.

11. Tutup acara dengan kata-kata yang berkesan dan menggugah.

Jumat, 29 Mei 2009

Endek Bali Sebagai Produk Berbasis Keunggulan Budaya Lokal

A. Peluang Endek sebagai Industri Berbasis Budaya

Tenun ikat Bali atau endek merupakan produk budaya yang awalnya jenis kain tersebut hanya digunakan para orang tua dan kalangan bangsawan, tetapi kini sudah hampir sebagian besar masyarakat Bali bisa mengenakan, baik untuk upacara besar maupun sembahyang ke Pura. Endek yang dihasilkan dari industri endek di Bali rata-rata masih menggunakan motif dan desain tradisonal, yang beberapa diantaranya hanya digunakan pada saat upacara adat. Kain-kain, yang disebut wastra dalam adat Bali, berperan sangat penting dalam upacara-upacara adat. Sejak lahir sampai meninggal, mulai pagi hari ketika matahari terbit sampai terbenam, orang Bali menjalani kehidupannya dengan berbagai upacara adat. Warisan budaya ini menyebabkan beberapa jenis kain dianggap sakral dan berhubungan erat dengan upacara-upacara keagamaan (Sukawati, 2007). Kain endek pun beberapa diantaranya memiliki ragam hias yang dihubungkan dengan upacara sakral atau hanya boleh digunakan oleh orang tertentu. Hal ini menyebabkan, endek sebagai budaya yang harus dilestarikan namun tidak boleh diperlakukan sembarangan, karena dapat merusak nilai dari budaya yang harusnya dijaga.

Kain endek Bali sebagian besar didesain dan diproduksi untuk kepentingan pasar lokal Bali, sehingga warna, motif dan designnya sesuai selera masyarakat Bali. Namun, apabila hanya berkutat pada pasar lokal di Bali maka output yang dapat diserap akan semakin kecil, ditambah lagi dengan masuknya jenis kain dari luar bali, yang membuat perajin endek Bali semakin terengah-engah dalam menjalankan usahanya (Ari, 2006). Oleh karena itu sangat penting bagi perajin untuk menyasar pasar domestik seperti yang dilakukan oleh kain batik. Menurut perajin endek di Denpasar, desain Endek Bali tidak pernah kekeringan kreativitas, bahkan desain asli budaya Bali mungkin lebih unggul dibanding daerah lainnya (Ari, 2006). Perluasan pasar dari pasar lokal ke pasar domestik bukan hal yang mustahil, asalkan perajin mampu menciptakan desain yang sesuai pasar dan kain yang nyaman maka endek dapat masuk ke pasar mana saja (Dewa, 2008).

Perluasan pasar ke pasar internasional juga sangatlah besar. Saat ini, TPT Bali telah memiliki tempat tersendiri di pasar dunia. Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Bali (2008), endek merupakan produk unggulan Provinsi Bali. Peluang ekspor endek cukup besar dilihat dari masih tingginya ekspor tekstil Indonesia, yaitu menyumbang rata-rata 62 persen per tahun dari total kontribusi komoditas ekspor dan ekspor tekstil Indonesia tahun 2008 mencapai 10,83 miliar dollar AS (Kompas, 2009). Walaupun permintaan ekspor tekstil dari Amerika Serikat menurun, namun sasaran pasar ekspor tekstil Indonesia semakin luas. Timur Tengah, Afrika, dan Jepang dapat menjadi sasaran ekspor tekstil yang potensial, khususnya bagi endek. Jepang terkenal memiliki karakter pasar tekstil dengan selera tinggi dan perubahan mode yang sangat cepat (Kompas, 2009). Oleh karena itu, penjajakan pasar dan tukar informasi menjadi hal penting agar Endek Bali dapat masuk ke pasar Jepang dengan desain, jumlah, dan mutu produk yang tepat. Namun, diperlukan strategi agar dapat memenuhi selera konsumen, sehingga memiliki daya saing di negara tujuan ekspor. Desain, motif, dan warna dapat disesuaikan dengan keinginan pasar, namun kekhasan endek harus tetap dipertahankan karena unsur budaya lokal yang ada di dalamnya memberi nilai tambah dan keunikan bagi industri endek lokal.

Selain masalah desain, motif dan warna yang sesuai dengan selera masyarakat, masalah lain yang di hadapi oleh pelaku industri endek adalah kurangnya promosi. Masih banyak perajin endek yang menggunakan sistem pemasaran sederhana, yaitu hanya mengandalkan promosi dari mulut ke mulut. Menurut Ni Nengah Srianti (2009) selaku pengamat bisnis di Bali, sebagian besar perajin endek hanya melakukan promosi secara personal. Masih ada keengganan dari perajin untuk memasarkan produknya dengan media-media elektronik yang tersedia. Sistem promosi ini menyebabkan peluang pasar yang dapat direbut oleh para perajin endek menjadi lebih kecil.

Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak dalam mempromosikan endek yang lebih gencar dan melindungi endek dari penjiplakan, menjadikan endek dapat semakin terangkat seiring peningkatan kreativitas dan inovasi desainer lokal untuk memenangkan persaingan baik lokal, domestik maupun internasional (Gun, 2007). Keberhasilan industri tekstil, terutama dalam pasar ekspor, membantu peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat. Tahun 2008 jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri tekstil mencapai 10,28 juta tenaga kerja (Kompas, 2009). Peningkatan ekspor tekstil pastinya memberi efek peningkatan pendapatan nasional atau pengeluaran agregat. Apabila ekspor endek mampu mengalami peningkatan setelah inovasi pada endek diterapkan, maka ada kemungkinan terjadi efek multiplier terhadap pendapatan nasional. Selain itu, masuknya endek dalam pasar dunia akan dapat membukakan peluang kerja baru yang dapat menyerap tenaga kerja, sehingga angka pengangguran dapat ditekan, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sini, endek tidak hanya berpeluang masuk ke pasar dunia, tapi juga berpeluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekspor endek.

B. Tri Hita Karana sebagai Keunggulan Budaya Lokal dalam Mendukung Kreativitas Industri Kerajinan Endek

Sifat tradisi dan kehidupan masyarakat di Bali pada umumnya penuh diliputi oleh upacara keagamaan yang sarat dengan nilai-nilai filosofi (Sukawati, 2007). Adanya konsep Tri Hita Karana yaitu, tiga hal yang diyakini dapat memberikan kebahagian dalam kehidupan, sehingga bila dijalani dengan keselarasan akan tercipta keharmonisan yang dalam implementasinya dapat membentuk karakter masyarakat Bali yang peduli akan hubungan antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesamanya (pawongan), dan manusia dengan lingkungan (palemahan). Penggunaan endek pun didasari oleh nilai-nilai dari konsep Tri Hita Karana. Contohnya, endek cepuk dengan motif sakral yang khusus dipergunakan dalam upacara keagamaan sebagai rasa hormat kepada Sang Pencipta. Selain itu, pegringsingan yang juga merupakan kain tenun ikat yang sakral, wajib digunakan pada upacara-upacara keagamaan seperti upacara Ngaben dan Mepandes di Bali. Berbeda dengan motif endek untuk upacara keagamaan yang lebih banyak menggunakan motif-motif patra dan encak saji yang bersifat sakral, endek yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan sosial masyarakat pada umumnya bermotif nuansa alam. Kreativitas yang tercipta dari pembuatan endek secara tidak langsung telah mengantarkan endek sebagai identitas keunggulan budaya lokal. Harmonisasi kehidupan yang dijalani perajin endek memberi inspirasi dalam penciptaan desain-desain endek yang lebih atraktif. Menurut I Nyoman Gunadi selaku perajin Endek, proses pembuatan endek dan penciptaan desainnya lebih mudah dilakukan dengan adanya kepedulian terhadap sekitar. Rasa kepedulian memberikan kemampuan untuk melihat perubahan-perubahan dengan lebih cepat.

Adanya perhatian terhadap semua unsur di dunia ini menjadikan busana yang dibuat oleh orang-orang bali dulu memiliki nilai lebih. Nilai lebih ini menurut desainer Abinanda sangat disadari oleh leluhur orang Bali dulu dan mereka mewariskan kepada generasi di bawahnya bahan-bahan pakaian yang berkualitas, yang pembuatannya melibatkan segenap ketekunan, kesabaran dan nilai seni yang tinggi (Putra, 2009). Seni menenun yang dilakukan oleh orang Bali dulu dan hingga kini masih dilakukan untuk menciptakan kain endek merupakan nilai lebih yang dimiliki oleh kain endek. Pembuatan endek Bali masih melibatkan ritual untuk menghasilkan kain yang berkualitas, sehingga selain mendapatkan selembar kain, orang yang membeli endek juga telah mendapatkan kain yang penuh cerita dan makna. Ini dapat dijadikan sebagai alat promosi bagi pelaku industri endek dalam menjual endeknya. Dalam memasarkan endek tidak lagi memasarkan selembar kain, namun kain yang memiliki cerita, dan ini menjadi daya saing tersendiri bagi endek di pasar dunia.

Namun, dalam memasarkan endek dengan cara menyatukan endek dan cerita serta kekhasan budaya yang ada di dalamnya, endek yang dikomersilkan tetap hanya endek-endek yang memang boleh digunakan bukan endek yang disakralkan. Karena dengan mengkomersilkan endek yang memiliki nilai kesakralan dan hanya boleh digunakan pada saat-saat tertentu, akan merusak nilai dari endek itu sendiri. Oleh karena itu, kemampuan menciptakan endek yang lebih kreatif dapat dilakukan melalui kesadaran terhadap sekitar (Tri Hita Karana) dan memasarkannya sebagai kain yang memiliki nilai lebih dari cerita yang terkandung dalam endek tanpa harus mengkormesilkan endek yang memiliki kesakralan.

C. Upaya yang Dapat Dilakukan Dalam Mengembangkan Industri Endek

Dalam usaha menembus pasar dunia, diperlukan upaya-upaya untuk menjadikan industri endek sebagai industri berbasis budaya lokal, tapi mampu masuk pasar internasional. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait, namun masih ada beberapa upaya yang belum dijangkau oleh pelaku industri endek ataupun pemerintah.

1. Meningkatkan Daya Saing Endek Melalui Penciptaan Kreasi Endek

Dalam upaya menciptakan daya saing bagi endek di pasar nasional dan kemudian masuk ke pasar internasional adalah dengan meciptakan kreasi endek yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Ada beberapa cara untuk meningkatkan daya saing endek melalui penciptaan kreasi endek, yaitu:

a. Menciptakan desain endek yang lebih beragam seperti menambahkan bordir-bordir pada kain endek, mengkombinasikan endek dengan kain lain, dan menambahkan lukisan pada kain endek.

b. Membuat endek yang lebih atraktif dari segi warna, karena selama ini warna-warna kain endek terkesan monoton. Jadi dengan membuat warna-warna endek lebih atraktif dan sesuai selera pasar dapat meningkatkan daya saing endek.

c. Menciptakan motif-motif endek yang lebih dinamis tanpa menghilangkan unsur budaya yang ada, seperti mengunakan motif alam Bali atau motif penari Bali, dan ciri khas lainnya yang menunjukkan unsur budaya Bali dengan menggunakan desain bordir ataupun lukisan pada endek.

d. Menjadikan endek Bali lebih nyaman digunakan dan tidak kaku seperti kain endek yang ada saat ini. Kain endek yang ada saat ini terkesan berat dan kaku, sehingga diperlukan pemilihan bahan-bahan pembuatan endek yang nyaman dan mudah dirawat.

2. Memasarkan Endek dengan Menjual Keunikan Endek

Di masyarakat internasional warisan budaya memiliki daya tarik tersendiri, apalagi di tengah kemajuan teknologi saat ini. Hal-hal yang mengandung nilai-nilai sejarah dan budaya yang kuat dan tradisional sangat dihargai oleh orang-orang di mancanegara, khususnya orang-orang Eropa dan Amerika. Untuk masuk ke pasaran internasional, endek tidak akan mampu menjuarai fashion dunia jika hanya menjual endek sebagai kain yang bagus. Oleh karena itu sangatlah penting agar para pelaku industri endek menjual endek sebagai kain yang bernilai sejarah dan budaya masyarakat Bali. Endek yang akan dijual di pasar internasional bukan hanya sekedar kain, tapi sebagai kain yang dibuat dengan keunggulan budaya masyarakat Bali seperti Tri Hita Karana dan cerita-cerita daerah yang ada seputar kain endek, serta endek sebagai kain yang diproduksi secara tradisional dengan keuletan masyarakat Bali.

Sebaiknya endek tidak lagi dijual seperti menjual kain biasa. Penjualan melalui mulut ke mulut juga tidak akan membantu endek dalam merebut pasar domestik ataupun internasional. Diperlukan manajemen yang baik untuk memasarkan endek melalui media-media seperti internet ataupun melalui pameran-pameran yang berskala domestik ataupun internasional. Endek yang dipasarkan memang memiliki nilai budaya dan tradisional yang tinggi, tapi pemasaran yang dilakukan harus lebih modern dan mampu mengikuti perkembangan pasar.

3. Memasuki Pasar Dunia Melalui Perancang-Perancang Busana Ternama

Pemasaran endek saat ini masih belum bersifat tradisional dan belum ada gebrakan yang berarti untuk menjadikan endek sebagai fashion dunia, bahkan di Indonesia pun endek masih belum mampu menyaingi kepopuleran kain batik. Oleh karena itu diperlukan bantuan dari perancang-perancang busana untuk memperkenalkan endek lebih luas. Perajin endek bekerja sama dengan para perancang busana untuk memperkenalkan endek melalui pentas-pentas peragaan busana baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kain endek, menurut salah satu desainer ternama di Bali, Tjokorda Gede Abinanda S sebenarnya dapat dikembangkan menggunakan hasil-hasil pemikiran baru tanpa harus kehilangan ciri yang paling mendasar dari tekstil yang dipergunakan (Putra, 2009). Rancangan baru ini mendekatkan rancangan tradisional setempat dengan trend yang berkembang di dunia internasional. Kuncinya adalah mengembangkan motif-motif tradisional menjadi motif-motif yang berorientasi pada pasar global. Karena konsep berpakaian masyarakat saat ini lebih didasarkan pada model dan kenyamanan serta mematahkan kesan berat yang dipikul endek. Beberapa desainer telah menjadikan endek sebagai busana yang tampil trendi dan sangat casual. Banyak ragam hias Bali yang sangat menarik bisa digali dan ditanam pada sebuah kain. Melalui tangan desainer ternama bukan tidak mungkin dari kain endek diciptakan busana bergaya pakaian India dengan warna dan patter-nya atau bergaya romantik atau mongolia dengan sentuhan etnik.

Gambar 4.1 Contoh Desain Busana dari Endek

Sumber : Dewa Ketut Putra, 2009

4. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Endek

Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan endek menuju fashion dunia. Kemudahan perizinan untuk ekspor akan mendorong pelaku industri endek untuk mengekspor endek ke negara-negar yang potensial. Peraturan pemerintah di bidang perlindungan hak cipta juga diharapkan mendukung berjalannya industri kreatif berbasis budaya, khususnya endek. Banyaknya kasus penjiplakan dan pengakuan hak cipta sering sekali merugikan pemilik ide atau gagasan. Hal ini mungkin saja terjadi suatu saat nanti pada desain-desain endek yang telah diperkenalkan ke masyarakat, apabila pengurusan perlindungan hak kekayaan intelektual masih berbelit dan membutuhkan waktu lama serta biaya yang banyak.

Selain itu pemerintah dalam meningkatkan daya saing endek dapat memberikan pelatihan-pelatihan kepada perajin untuk menciptakan desain atau motif endek. Salah satu pelatihan yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing tenun dan bordir khas Bali,adalah menggelar pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi 15 orang perajin kecil di Kota Denpasar. Selain untuk mengajarkan teknik desain endek, pelatihan yang diadakan Deperindag Kota Denpasar juga bertujuan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil di pedesaan sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga.

Pemerintah Kota Denpasar juga melalui Dekranasda Kota Denpasar, mendorong para perajin binaannya untuk mengembangkan desain yang sudah ada melalui pelatihan dengan binaan dan arahan langsung dari desainer kondang Samuel Watimena yang memberi sentuhan modern tanpa menghilangkan karakter dan roh dari kain endek itu sendiri. Dari upaya tersebut lahirlah kain endek Denpasar yaitu perpaduan desain tradisional dengan estetika tumpal bordir modern yang dinamis dalam bentuk yang menjadi ciri khas kain endek Denpasar (Bisnis Bali, 2008).Pelatihan-pelatihan seperti di atas wajib menjadi agenda pemerintah daerah untuk memajukan endek sebagai industri yang berangkat dari budaya lokal menuju pasar internasional.

Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah dan sebaiknya dipertahankan bahkan diperluas ke segmen lainnya, adalah dengan mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bali untuk menggunakan endek sebagai seragam. Upaya ini sangat membantu pemasaran endek, dan upaya ini dapat diperluas tidak hanya PNS tapi juga pegawai BUMN dan pegawai swasta, ini dapat dilakukan melalui imbauan pemerintah daerah. Dengan membiasakan endek di kalangan pegawai, bukan tidak mungkin endek akan lebih cepat masuk ke masyarakat domestik lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Agus. 2008. Industri Kreatif. http://duniaanda.com/apa-aja-sich-industri-kreatif-itu.html [27 Maret 2009]

______. 2006. Proses Pembuatan Tenun Ikat. http://www.balinusahandicraft.com/process.html [27 Maret2009]

______. 2007. Angkat Daya Saing Endek, Disperindag Gelar Diklat Bordir. http://www.denpasarkota.go.id/instansi/?cid==kjN&s=i_berita&id=612. [ 4 April 2009]

Ardika, I Wayan. 2007. Kebudayaan Lokal, Multikultural, dan Politik Identitas dalam Releksi hubungan Antaretnis Warta Ekonomi Kearifan Lokal dengan Warga Cina di Bali. http://elka.umm.ac.id/artikel4.htm. [ 4 April 2009]

Ari. 2006. Endek Bali Jalan, tapi Terengah-Engah. http://www.cybertokoh.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=1901 [4 April 2009]

Bisnis Bali. 2008. Populerkan Endek Denpasar Gaet Desainer Ternama. http://www.bisnisbali.com/2008/07/23/news/gayahidup/n.html. [4 April 2009]

Disperindag. 2007. Direktori Perindustrian Provinsi Bali Tahun 2006. Disperindag. Bali.

Disperindag. 2008. Katalog Pameran Pekan Kesenian Bali. Disperindag. Bali.

Gorda, I Gusti Ngurah. 1999. Manajemen dan Kepemimpinan Desa Adat di Propinsi Bali dalam Perspektif Era Globalisasi. Denpasar: Widya Aksara Nasional Denpasar.

Gun. 2007. Tentang Rendahnya Daya Saing Motif Lokal Desainer Lokal Perlu Evaluasi. http://www.bisnisbali.com/2007/09/20/news/gayahidup/ut.html [27 Maret 2009]

Kompas. 2009. Penetrasi ke Timur Tengah Ekspor Tekstil Optimis capai 8 Miliar dolar AS. http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/02/23/14284033 [ 28 Februari 2009]

Kartiwa, Suwati. 2007. Ragam Kain Tradisional Indonesia Tenun Ikat. Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Jhingan, M. L. 2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Nusa Bali. 16 Juni, 2006. Bintang Puspayoga Luncurkan Endek Denpasar, Nusa Bali, hlm. 4.

Putra, Dewa Putu. 2009. Terang Suram Endek Bali. http://www.saradbali.com/edisi106/seni.htm [ 4 April 2009]

Simatupang, Togar M. 2008. Industri Kreatif. http://www.slideshare.net/togar/industri-kreatif-indonesia [ 4 April 2009]

Suarjaya. 28 Februari 2009. Perajin Endek Diminta Sinergi dengan Desainer. Bisnis Bali, hlm. 4.

Sukawati, Cok Gd. A. Putra. 28 Februari 2009. Membangun Bali dengan Spirit Yadnya dan Berbasis Kearifan Lokal. Bisnis Bali, hlm. 12.

Sukirno, Sadono. 2008. Makroekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Suryadistra. 2007. Tri Hita Karana. http://suryadistira.blogspot.com/2008/10/tri-hita-karana.html [4 April 2009]

Widiyanti, Arin. 2007. Industri Ekonomi Kreatif Menggeliat. http://www.detikfinance.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/tgl/23/time/170644/idnews/844156/idkanal/4 [ 27 Maret 2009]

Zumar, Dhorifi. 2008. Pentingnya Ekonomi Kreatif. No.12/Tahun XX/9 Juni 2008