Rabu, 06 Februari 2013

Mereka TIDAK Memilih Menjadi Miskin


Hari ini hujan turun deras lagi, setelah beberapa hari mereda, yang terbayang adalah bagaimana macetnya jalanan ketika hujan, banjir yang mungkin akan menyerang ibukota lagi, atau hal-hal ajaib seperti munculnya serbuan ojek payung secara tiba-tiba ketika hujan menerpa. Aku membayangkan orang-orang yang berada di jalanan, bapak-bapak atau ibu-ibu yang berjualan keliling sambil berjalan kaki atau mengayuh sepeda, pengemis yang sedang "nongkrong" di lampu merah dan orang-orang yang mencari nafkah si sepanjang jalan ibukota. Aku masih ingat ketika suatu pagi hujan turun dengan derasnya serta berangin, sepanjang jalan menuju kantor basah dan becek, namun yang tidak kusangka adalah kehadiran bapak-bapak tunawisma yang selalu duduk di jembatan penyebrangan setiap pagi, entah dia memang tidur semalaman di situ atau entah bagaimana. Bapak-bapak itu selalu menggunakan baju biru dan celana gelap yang sudah compang camping, kepalanya yang sudah tidak berambut ditutupi dengan kain yang berasal dari sobekan pakaian dan diikat karet. Saat itu dia duduk beralaskan plastikm tangannya tidak mengadah meminta-minta, tapi beberapa orang yang lewat kadang menyelipkan lembaran rupiah ke tangannya.
 aku yang terkena kilasan hujan sepanjang jala saja sudah merasa dingin, bagaimana bisa bapak ini duduk di atas lantai yang bergenang air hujan, dan terciprat air dari atap-atap dan celah di sepanjang jembatan penyebrangan tersebut. Di jalan dekat kantorku juga ada nenek-nenek yang sudah renta menengadahkan tangannya setiap pagi, kulitnya sudah coklat keriput, pada pagi itu ternyata dia juga berada di tempat biasa dia meminta-minta tempatnya duduk juga hanya dialasi dengan plasti, tetap meminta-minta dengan bermodalkan payung. Sungguh kegigihan yang menyakitkan. Pagi itu juga aku melihat bapak tukang sapu, yang berteduh di bawah jembatan penyebrangan, masih memegang sapunya. Sekilas dalam pikiranku bertanya, apakah anggota dewan perwakilan rakyat serajin ini melaksanakan tugasnya? Jangan-jangan mereka dengan berbagai fasilitas yang berlimpah justru tidak hadir dengan alasan hujan yang deras, kemacetan, and bla bla bla....
Kemiskinan begitu dekat dalam kehidupan kita, aku bersyukur setiap pagi berjalan melewati orang-orang yang meminta-minta, tukang sapu yang sedari pagi membersihkan jalanan, dan pemulung yang tidur di pinggir jalan, kenapa aku bersyukur? Apakah aku senang melihat kepedihan itu? Bukan... Aku bersyukur, karena nuraniku setiap harinya dibuat terluka, pikiranku dibukakan, bahwa apa yang aku miliki saat ini, walaupun tidak banyak dan pas-pasan, ternyata jauh lebih baik daripada semua kekurangan yang orang-orang ini hadapi. Apa alasanku untuk tidak bersyukur dan tidak merasa bahagia, aku memiliki anggota tubuh yang lengkap, keluarga, rumah, dan syukurnya masih bisa makan setiap harinya. Aku masih bisa tertawa lepas, tidak perlu memasang wajah memelas setiap hari untuk membuat orang iba dan memberi sedekah. Hidupku baik-baik saja.
Namun, setiap aku melihat mereka yang mengemis, memohon sedikit iba dari orang-orang yang tidak dikenal, aku juga merasa sedih dan sakit di dalam hati. Aku sedih dan marah, karena aku tidak bisa membantu mereka, tidak ada hal yang bisa aku lakukan untuk membuat mereka keluar dari lingkaran setan itu. Aku cuma bisa memberikan seribu dua ribu, namun itu bukanlah jalan keluar mereka. Aku memendam keinginan dan keyakinan akan masa yang akan datang, bahwa aku harus membantu setiap orang miskin untuk keluar dari kemiskinan itu.
Aku pernah merasakan kelaparan,tidak memiliki uang sama sekali, dan kesulitan membayar uang sekolah, aku bisa melewati semua itu berkat bantuan dari orang lain juga. Oleh karena itu, aku yakin aku harus membayar kebaikan-kebaikan itu kepada orang yang membutuhkannya juga. Lalu bagaimana jika orang-orang yang mengemis itu hanya berpura-pura saja, mereka merupakan sindikat-sindikat pengemis. Aku juga pernah berpikir seperti itu, dan aku pun mendapatkan jawabannya dari sebuah artikel tentang orang kaya yang sukses berkat beberapa faktor, salah satunya adalah memberi dengan ikhlas. Ketika kita memberi, kita meyakini bahwa orang tersebut membutuhkan pemberian kita, dan mereka akan menggunakan sebaik-baiknya, jika kenyataannya mereka menipu kita, maka itu adalah urusan mereka dengan diri mereka sendiri.
Pemikiran itu sungguh melegakan, dan itu yang aku yakini juga saat ini. Kemiskinan bukan hanya urusan pemerintah, kemiskinan adalah tanggung jawab kita juga. ketika kita mengabaikan orang-orang yang kesusahan, menutup nurani kita, apakah kita masih disebut manusia? Aku juga bukan orang yang baik dan sempurna, aku hanya mencari ketenangan di tengah hiruk pikuk kehidupan, dengan keyakinan bahwa aku bertanggung jawab masalah bangsa ini.
Hujan belum juga reda, kemacetan masih menghiasi ibukota, dan aku hanya bisa memulai dengan doa dan keyakinan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar